This post is also available in: English

Pukul 7 pagi perahu nelayan Pak Basir siap berangkat; alat tangkapnya diletakkan di atas geladak. Langit tampak cerah dengan beberapa awan tipis menembus di langit yang biru – cuaca yang ideal untuk melaut. Pak Basir, seorang nelayan Bajo dari Desa Uwedikan, akan mencoba peruntungannya untuk menangkap gurita hari ini.

Ia mengarahkan perahunya menuju Balean, tempat memancing gurita terbaik di Desa Uwedikan. Pak Basir menghentikan perahunya dan membersihkan masker SCUBA-nya (masker yang biasa digunakan untuk menyelam) dengan batang bakau, “Ini bisa mencegah pengabutan di masker,” katanya. Dia memakai masker dan bersandar di tepi perahunya, lalu membenamkan wajahnya ke dalam air.

Di tangan kirinya, ia memegang manis-manis (umpan berbentuk gurita) dan di tangan kanan ia menggunakan dayung untuk mengontrol pergerakan perahu. Seekor gurita mulai berenang menuju manis-manis, ia menampakkan diri dari tempat persembunyiannya di terumbu karang. Saat gurita mulai Lelah mengejar manis-manis, Pak Basir menghela nafas panjang sebelum menyelam untuk menangkapnya dengan tangan kosong.

Namun, Pak Basir segera menyadari gurita itu terlalu kecil sehingga ia melepaskannya kembali ke laut.

Manis-manis adalah umpan berbentuk gurita yang digunakan nelayan untuk memancing gurita keluar dari terumbu karang | Foto: Rayhan Dudayev

Melindungi Perikanan di Uwedikan

Uwedikan adalah desa pesisir yang indah di Sulawesi Tengah, Indonesia, yang menarik wisatawan lokal untuk berkemah dan snorkeling di akhir pekan. Selain dari sektor pariwisata, banyak penduduk desa yang mengandalkan memancing gurita untuk mendapatkan penghasilan. Pada Februari 2021, saya bergabung dengan Pak Basir dalam perjalanan melaut pagi-pagi buta, saat mengunjungi desa untuk mendukung Japesda, salah satu organisasi mitra Blue Ventures di Indonesia. Japesda bekerja dengan masyarakat di Uwedikan, membantu mereka melakukan upaya konservasi laut untuk mengelola dan melindungi perikanan gurita mereka.

“Dalam bahasa Saluan (bahasa daerah setempat), Uwedikan merujuk pada air dan ikan (uwe artinya air dan dikan artinya ikan). Menangkap ikan bukan hanya menjadi mata pencaharian utama masyarakat Uwedikan, tapi juga mendefinisikan seluruh jati diri mereka sebagai masyarakat,” kata Marwan, salah satu anggota komunitas dari Uwedikan kepada saya.

Perjalanan dalam mencapai status Kawasan Konservasi Laut (KKL) dimulai pada tahun 2008, seiring dengan meningkatnya aktivitas penangkapan ikan yang merusak, termasuk penggunaan racun dan bom, yang merusak ekosistem terumbu karang di sekitarnya.

Pada 2019, Uwedikan secara resmi menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Perairan (KKP) setelah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Perjalanan dalam mencapai status Kawasan Konservasi Laut (KKL) dimulai pada tahun 2008, seiring dengan meningkatnya aktivitas penangkapan ikan yang merusak, termasuk penggunaan racun dan bom, yang merusak ekosistem terumbu karang di sekitarnya.

Pada 2017, masyarakat Desa Uwedikan mulai memimpin upaya pengelolaan perikanannya sendiri dengan membentuk kelompok KKL berbasis masyarakat yang didukung oleh Japesda. Tujuan kelompok ini adalah untuk melindungi sumber daya pesisir Uwedikan dengan memantau kawasan agar tetap aman dari penangkapan ikan yang merusak. Selain itu juga untuk memimpin inisiatif konservasi lainnya, seperti pemantauan perikanan gurita secara partisipatif.

Mengumpulkan data tentang gurita

Sejak Maret 2020, nelayan Desa Uwedikan memantau hasil tangkapan gurita mereka melalui pengambilan data secara partisipatif. Hal ini [pengambilan data partisipatif], ditambah dengan pengetahuan tradisional masyarakat tentang perikanan, membantu mereka memahami potensi perikanannya dan memutuskan bagaimana mengelolanya secara berkelanjutan.

“Sumber daya yang ada di darat, pohon dapat dengan mudah dihitung satu per satu. Berbeda dengan sumber daya laut yang lebih sulit untuk dihitung. Contohnya saja, metode pemantauan perikanan gurita melibatkan hal-hal seperti mencatat ukuran gurita dan jenis kelaminnya,” kata Jali, pengurus komunitas dari Japesda.

“Awalnya, membangun pemantauan partisipatif di Uwedikan tidaklah mulus karena pembeli gurita khawatir pendataan akan menurunkan kualitas hasil tangkapan,” kata Indira Moha, pengumpul data gurita dari Japesda, kepada saya.

“Namun, melalui komunikasi yang jelas dan dengan memastikan prosedur kebersihan yang ketat saat memantau gurita, pembeli mengizinkan para pengumpul data untuk memantau gurita,” tambahnya.

Japesda bekerja sama dengan masyarakat untuk mengomunikasikan manfaat pemantauan partisipatif, dan di Desa Uwedikan khususnya, data perikanan gurita menjadi milik masyarakat sepenuhnya.

Japesda dan pengumpul data masyarakat pun mendapat dukungan dari sektor swasta, terutama sejak mempresentasikan inisiatif pemantauan berbasis masyarakat kepada salah satu pembeli ikan terbesar yang ada di Desa Uwedikan.

Belajar melalui sesi umpan balik data

Setelah tiga bulan melakukan pengambilan data, para nelayan di Desa Uwedikan meluangkan waktu untuk menganalisis data tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi perikanan mereka. 

Setelah tiga bulan melakukan pengambilan data, para nelayan di Desa Uwedikan meluangkan waktu untuk menganalisis data tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi perikanan mereka. Hal ini dilakukan melalui sesi umpan balik data yang difasilitasi oleh Japesda, yang mengomunikasikan data dengan cara yang mudah dan relevan secara budaya.

Dalam sesi ini, masyarakat berkesempatan untuk melihat berapa banyak yang mereka peroleh dari gurita setiap bulan, berapa kilogram gurita yang ditangkap, dan bahkan melihat siapa yang berhasil menangkap gurita terbesar!

Saat berkunjung ke Uwedikan pada Februari, saya berkesempatan untuk mengikuti sesi umpan balik data dan mengamati masyarakat berdiskusi tentang cara terbaik untuk mengelola sumber daya laut mereka.

Japesda memvisualisasikan data dengan sangat menarik dan hal tersebut memantik diskusi para nelayan tentang ukuran gurita yang harus mereka tangkap. Mereka menyadari bahwa mereka akan mendapat lebih banyak uang jika mereka menangkap gurita berukuran sedang (kurang dari 1,5 kilogram), walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit, daripada menangkap banyak gurita kecil. Mereka juga mencatat bahwa hal tersebut akan lebih berkelanjutan karena memungkinkan gurita yang lebih kecil untuk tumbuh dan bertelur. Seperti yang Pak Basir tunjukkan kepada saya saat memancing di pagi hari, para nelayan di Uwedikan akan langsung melepas gurita kembali ke laut jika ukurannya terlalu kecil.

“Mungkin kita juga bisa menutup beberapa daerah untuk sementara waktu supaya gurita itu punya kesempatan untuk beregenerasi,” Pak Arif, seorang petugas desa, menyampaikan opininya. Sebagai bagian dari pertukaran pembelajaran dengan masyarakat Darawa di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada Desember 2020, Pak Arif menjadi saksi keberhasilan penutupan penangkapan sementara gurita yang dilakukan oleh masyarakat dan ia ingin melihat hasil yang serupa di Uwedikan.

Usai sesi, masyarakat sepakat bahwa, untuk saat ini, mereka hanya akan melanjutkan pemantauan partisipatif setidaknya selama enam bulan. Dengan begitu, mereka akan memiliki perkembangan data yang jelas untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan di masa mendatang. Dalam tiga bulan berikutnya, mereka akan kembali mengadakan sesi umpan balik data; membangun lumbung pengetahuan tentang lingkungan laut mereka.

Pengelolaan bersama KKL

Pemantauan partisipatif perikanan gurita hanya salah satu contoh bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam konservasi laut dan bekerja selaras dengan KKL. KKL sendiri dikelola oleh pemerintah provinsi, tetapi masyarakat semakin dilibatkan melalui pengelolaan bersama dan kolaborasi.

Melalui upaya tersebut, dalam waktu dekat masyarakat diharapkan mampu menjadi pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan KKL.

Di Uwedikan, kelompok KKL berbasis masyarakat bekerja sama dengan pengelola KKL dengan menjalankan sebagian tanggung jawab pemantauan dan menerapkan ilmu yang dipelajari dari pemantauan perikanan gurita secara partisipatif. Melalui upaya tersebut, dalam waktu dekat masyarakat diharapkan mampu menjadi pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan KKL.

Ketika pengelola KKL melibatkan nelayan lokal melalui pengelolaan bersama, mereka tidak hanya belajar dari pengetahuan nelayan tradisional, tetapi mereka juga memberdayakan masyarakat pesisir untuk mengembangkan profil mereka sebagai pengambil keputusan perikanan dalam konteks lokalnya. Di Uwedikan, hal tersebut berarti melindungi terumbu karang. Terumbu karang Uwedikan tidak hanya menarik wisatawan ke desa, tetapi juga menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut yang menopang masyarakat dan generasi yang akan datang.

“Kita akan hancur jika rumah kami hancur. Hal ini juga berlaku untuk terumbu karang. Kami membayar sekolah anak-anak kami dari hasil ikan yang kami tangkap, jadi kami perlu melindungi rumah mereka, terumbu karang.” kata Pak Basir kepada saya dalam perjalanan memancing terakhir kami.

Dengan terlibat dalam proses konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, masyarakat di Uwedikan dapat melindungi terumbu karangnya | Foto: Christopel Paino | Japesda


Learn how Japesda are sharing octopus knowledge – virtually!


 

Posted by Rayhan Dudayev

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *