This post is also available in: English

Layang-layang berbentuk gurita terbang tinggi di langit Pulau Kenawa, Sumbawa Barat, Nusa
Tenggara Barat, Indonesia. Layang-layang itu dibuat oleh kelompok nelayan gurita, yang disebut
Pelita, di Desa Poto Tano untuk festival layang-layang bulan lalu di pulau tersebut.

Setelah berlayar melintasi Selat Alas yang menghubungkan Poto Tano dengan Pulau Lombok di
sebelah barat, desa ini menjadi pintu gerbang menuju Pulau Sumbawa. Sebagai destinasi wisata
bahari, Poto Tano memiliki pelabuhan yang indah dengan dikelilingi air yang jernih.

Juang Laut Lestari (JARI) memiliki arti “mengupayakan laut yang berkelanjutan” — yang menjadi semangat dari JARI dalam melakukan pekerjaannya di masyarakat.Di desa ini, JARI bekerja sama dengan masyarakat dalam memantau hasil tangkapan gurita mereka sehingga mereka dapat mulai mengelola sumber daya perikanan gurita mereka secara berkelanjutan. JARI adalah organisasi konservasi laut yang berbasis di Lombok dan salah satu mitra Blue Ventures di Indonesia. Juang Laut Lestari (JARI) memiliki arti “mengupayakan laut yang berkelanjutan” — yang menjadi semangat dari JARI dalam melakukan pekerjaannya di masyarakat.

Minggu pertama Oktober 2020 adalah minggu penting bagi kelompok Pelita—singkatan dari
Perkumpulan Nelayan Gurita. “Saat ini inisiatif Pelita masih dalam tahap awal, untuk
menginspirasi para nelayan gurita agar terhubung dan bersinergi. Harapannya, dalam waktu
dekat Pelita dapat dikenal masyarakat sebagai tempat yang menghubungkan dan memberdayakan para nelayan gurita di desa,” kata Hani Nusantari dari JARI.

Dari tanggal 1 hingga 9 Oktober—bersama JARI dan Pelita—masyarakat Poto Tano menikmati
kegiatan peningkatan kesadaran seputar pengelolaan perikanan gurita berbasis masyarakat di
desa tersebut dalam rangka memperingati Hari Gurita Sedunia. Tujuannya untuk meningkatkan
kesadaran tentang pentingnya pengelolaan perikanan gurita yang berkelanjutan di kalangan
nelayan dan keluarganya, masyarakat, serta pemerintah.

Kami mengangkat gurita sebagai inspirasi pengelolaan perikanan berkelanjutan untuk tema Pekan Gurita kali ini. Kami berharap semua yang mengikuti acara ini terinspirasi untuk mewujudkan impian perikanan gurita yang berkelanjutan,” tambah Hani.

Kegiatan yang ada dalam Pekan Gurita meliputi pengenalan pemantauan perikanan gurita secara
partisipatif, demonstrasi memasak gurita bersama para ibu di desa, Sarasehan (diskusi informal
antarkelompok yang terlibat dalam pengelolaan perikanan), dan perjalanan edukasi ke terumbu
karang terdekat.

Belajar langsung tentang gurita

Pekan Gurita diawali dengan pemantauan hasil tangkapan gurita secara partisipatif, yaitu saat
nelayan dan pengumpul data dari masyarakat mencatat berat, panjang mantel, lokasi
penangkapan, dan jenis kelamin gurita yang ditangkap. Data ini membantu masyarakat untuk lebih memahami potensi sumber daya gurita serta mengambil keputusan yang lebih tepat untuk
mengelola perikanan mereka.

Aydir dan Ningsih, staf lapangan JARI yang mengumpulkan data bersama masyarakat di sini,
mendukung para nelayan gurita dan keluarganya untuk memantau hasil tangkapan mereka
sepanjang minggu.

Setelah pemantauan hasil tangkapan partisipatif, JARI kemudian menginterpretasikan data dan
membuat alat yang dapat diakses serta metode bercerita untuk menjelaskan arti data tersebut bagi masyarakat.

Kami melibatkan para ibu dan anak muda dalam pemantauan partisipatif ini untuk mengenalkan mereka akan pentingnya mengetahui dan memahami potensi perikanan gurita mereka sehingga mereka bisa mulai memikirkan bagaimana cara mengelolanya,” kata Hani.

Para ibu dari Poto Tano juga sangat senang mempelajari cara menyiapkan takoyaki—kudapan
berbentuk bola yang dibuat dengan campuran adonan tepung terigu, telur, kecap, dan dashi
(kaldu rasa umami yang terbuat dari rumput laut), yang kemudian diisi dengan gurita panggang
yang sudah dipotong kecil-kecil. Takoyaki tersebut dihidangkan dengan saus sate yang dibuat
dengan bumbu rembiga khas Lombok yang manis namun pedas.

Ibu-ibu yang hadir terlihat sangat antusias menyaksikan demo masak yang dipimpin oleh tim
JARI. Setelah itu, mereka membuat sendiri beberapa hidangan gurita lezat untuk dibawa pulang
ke rumah.

Memahami tantangan dalam mengelola perikanan gurita

“Harus kami akui, masih banyak ditemukan kegiatan penangkapan ikan yang merusak di
perairan desa kami, kebanyakan dilakukan oleh masyarakat dari desa lain. Hal ini menjadi
tantangan bagi kami untuk menghentikan kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif bagi
lingkungan dan masyarakat kami ini,” kata Firmansyah, perwakilan pemerintah desa kepada
hadirin Sarasehan—sebutan untuk diskusi pengelolaan perikanan gurita yang diadakan pada Hari
Gurita. Acara Sarasehan tidak hanya dihadiri oleh para nelayan gurita dan aparat pemerintah
desa, tetapi juga perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, kelompok
sadar pariwisata (Pokdarwis), kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) sumber daya
perikanan, dan mitra organisasi konservasi lainnya—
 Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia.

Diskusi tersebut bertujuan untuk menghubungkan kelompok-kelompok yang diundang satu sama
lain, sekaligus membuka komunikasi seputar pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di Poto
Tano. Di dalam Sarasehan juga terdapat sesi umpan balik data—sesi di mana data yang
dikumpulkan oleh Aydir, Ningsih, dan para nelayan pada awal pekan lalu dipresentasikan
kembali kepada masyarakat luas.

Sebagai nelayan, kami merasa dirugikan dengan kegiatan penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan kompresor untuk menangkap ikan,” kata Burhanudin, nelayan gurita asal Poto Tano.

Penangkapan ikan dengan kompresor adalah praktik mengumpulkan spesies laut (terutama ikan
dan juga gurita) di bawah air sementara nelayan menghirup udara yang disuplai dari kompresor
(melalui selang) di atas kapal. Penggunaan kompresor untuk penangkapan ikan membawa risiko
kesehatan yang besar bagi orang-orang yang melakukannya dan seringkali merusak laut.
“Mereka menyelam menggunakan kompresor dan biasanya menggunakan tombak untuk
menangkap ikan – tapi juga sekaligus menghancurkan karang,” tambah Burhanudin.

Sepanjang diskusi, JARI melihat kemauan yang kuat dari pemerintah desa untuk bekerja sama dengan kelompok yang mereka temui untuk mengelola sumber daya perikanan mereka dengan lebih baik.Sepanjang diskusi, JARI melihat kemauan yang kuat dari pemerintah desa untuk bekerja sama dengan kelompok yang mereka temui untuk mengelola sumber daya perikanan mereka dengan lebih baik. “Beberapa waktu lalu kami bertemu dengan beberapa kepala desa dan saat ini kami sedang menyusun kesepakatan untuk melarang praktik penangkapan ikan yang merusak karena menurut kami hal ini perlu diatur lebih serius,” kata M. Nur Hasan, Kepala Desa Poto Tano.

Mendidik generasi muda

Dalam acara Sarasehan, JARI juga meluncurkan buku cerita tentang gurita untuk anak-anak di
desa. Buku bergambar tentang perikanan gurita dan siklus hidup gurita, dan termasuk halaman
yang dapat diwarnai oleh anak-anak. JARI telah membagikan alat pendidikan ini kepada
sekolah-sekolah lokal dan jaringan mitra Blue Ventures, yang mendukung pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat di delapan provinsi di Indonesia.

Menurut saya, buku cerita dari JARI ini penting untuk pendidikan awal tentang
konservasi bagi anak-anak yang tinggal di desa-desa pesisir,” kata Christopel Paino yang bekerja dengan Japesda (salah satu organisasi dalam jaringan mitra). Ia mengungkapkan apresiasinya ini setelah membacakan buku tersebut kepada anak-anak di daerah tempat ia bekerja.

Diberkahi dengan cuaca yang cerah, JARI dan masyarakat di Poto Tano menutup minggu
tersebut dengan perjalanan menyelam ke terumbu karang terdekat. Mereka juga mengundang
para nelayan dan beberapa anak muda di desa untuk mencoba menyelam menggunakan self-
contained underwater breathing apparatus/SCUBA (alat bantu untuk bernapas di bawah air).
Dengan memiliki kesempatan unik untuk menjelajahi terumbu karang—yang merupakan rumah
bagi para gurita—dari dekat seperti ini mengingatkan semua orang bahwa masyarakat perlu
bekerja sama untuk dilindungi ekosistem, demi masa depan mereka sendiri.

“Saya terkesan (dengan acara ini). Saya jadi tertarik untuk ikut melestarikan terumbu karang
kita, bahkan merehabilitasi yang sudah rusak,” kata Amir—nelayan gurita lokal asal Poto
Tano—dengan penuh harap.


Simak bagaimana Japesda berbagi pengetahuan tentang gurita – secara virtual!

Berkenalan dengan Maryana si nelayan gurita perempuan


*Kegiatan Pekan Gurita ini telah mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan yang sesuai
dengan mitigasi COVID-19.


 

Posted by Nisa Syahidah

As our National Communications Officer, Nisa has been telling the stories of our partners in Indonesia since 2019.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *