This post is also available in: English

“Selamat datang di Taman Nasional Sembilang,”

Ketika perahu kami perlahan memutar, lebatnya hutan mangrove Sembilang ini seakan membisikkan sambutan manis. Saat itu air sedang surut, sehingga perahu kami harus menemukan dermaga lain untuk bersandar di Desa Sei Sembilang, pintu gerbang Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Indonesia.

Saat itu adalah perjalanan pertama saya ke Taman Nasional Sembilang, tepatnya di bulan September tahun lalu, bersama sebuah organisasi konservasi bernama Yayasan Hutan Biru dan tim taman nasional. Untuk mencapai lokasi tersebut membutuhkan waktu sekitar empat jam, lebih lama dari yang saya kira. Perjalanan kami dimulai dengan berkendara selama dua jam dari Kota Palembang, ibukota Provinsi Sumatera Selatan, dan dilanjutkan menggunakan perahu selama dua jam menyusuri Semenanjung Banyuasin.

Taman nasional ini terbentang seluas 2.051 km2 di sepanjang pantai timur Sumatera, dan memiliki kawasan mangrove terbesar di Indonesia bagian barat, dengan sekitar 77.500 hektar hutan mangrove. Taman Nasional Sembilang juga merupakan rumah bagi 40% dari total spesies mangrove di Indonesia1.

Di langit, saya melihat seekor elang terbang di atas kepala – Taman Nasional Sembilang dianggap memiliki komunitas burung pantai paling kompleks di dunia, dengan 213 spesies yang pernah tercatat di kawasan ini. Ketika menginjakkan kaki di Desa Sei Sembilang, saya melihat bahwa kawasan ini tidak hanya menjadi habitat bagi beragam flora dan fauna, tetapi juga rumah bagi masyarakat pesisir yang tinggal di sana. Sebagian besar masyarakat Sei Sembilang adalah nelayan, dan kehidupan mereka bergantung pada ekosistem mangrove yang menjadi sumber ikan, udang, dan kepiting bakau yang berlimpah.

Dengan kondisi ekologisnya saat ini, kawasan mangrove dan perairan di sekitar Taman Nasional Sembilang terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di sana. Namun, Yayasan Hutan Biru telah mengidentifikasi adanya penurunan luasan mangrove selama 2003-2009, turun dari 91.679 hektar menjadi 83.447 hektar2. Degradasi dan hilangnya kawasan mangrove ini terutama disebabkan oleh ancaman dari aktivitias manusia, termasuk pembukaan lahan, pembalakan liar, dan pembangunan tambak ikan dengan mengonversi hutan mangrove menjadi kolam untuk perikanan budi daya.

Kami bekerja dengan Yayasan Hutan Biru untuk mendukung unit pengelola Taman Nasional Sembilang dalam menjaga hutan mangrove-nya agar lestari. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan peluang pendapatan dan mengembangkan mata pencaharian masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar taman nasional. Dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam pengelolaan kawasan, harapannya, tak hanya hutan terjaga, tetapi juga terangkatnya ekonomi setempat dan kesejahteraan desa.

Dengan mendengarkan kebutuhan masyarakat dan melibatkan mereka dalam upaya restorasi, Yayasan Hutan Biru tidak hanya akan melindungi hutan mangrove, tetapi juga membantu meningkatkan kehidupan masyarakat yang tinggal di sana.

Kami akan mendukung pemulihan ekosistem hutan mangrove yang rusak dan bekas area tambak di Taman Nasional Sembilang melalui upaya restorasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan di lapangan,” jelas Yusran, Penasihat Teknis Lingkungan di Yayasan Hutan Biru.

 

Pembelajaran dari Madagaskar

Setahun yang lalu, saya mengunjungi Ambanja di barat laut Madagaskar untuk belajar tentang upaya konservasi mangrove yang dipimpin masyarakat. Madagaskar memiliki kawasan mangrove terbesar keempat di Afrika, mewakili sekitar 2% dari total ekosistem mangrove di dunia. Sama seperti Indonesia, Madagaskar memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian besar penduduknya bergantung pada laut untuk bertahan hidup. Hutan mangrove yang lebat berkontribusi pada kelangsungan hidup masyarakat dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat pesisir. Sayangnya, tingginya eksploitasi menyebabkan meningkatnya tingkat deforestasi dan degradasi kawasan mangrove. Menyedihkan sekali melihat bagaimana batang kayu mangrove dijual murah di pasar lokal di sana untuk bahan baku arang.

Bersama dengan masyarakat lokal dan Universitas Antananarivo, Blue Ventures bekerja untuk melindungi, memulihkan, dan mendorong pemanfaatan mangrove secara berkelanjutan sebagai upaya untuk menghentikan laju deforestasi. Melalui proyek Blue Forests, tim Blue Ventures di Madagaskar berupaya untuk mempertahankan sumber penghidupan dan menciptakan diversifikasi mata pencaharian lokal, serta memberdayakan masyarakat agar dapat mengelola hutan mangrove secara berkelanjutan di Ambanja dan di seluruh Madagaskar barat.

Community-led mangrove restoration efforts in Ambanja | Photo: Ben Honey

Selama kunjungan tersebut, saya mengetahui bahwa masyarakat Ambanja telah membentuk sistem pengawasan kawasan mangrove secara partisipatif, yang berarti bahwa seiring dengan penanaman kembali kawasan mangrove, perwakilan masyarakat juga mengawasi hutan mangrove untuk mencegah pembalakan liar.

Mereka juga memiliki program pendidikan dan penyadartahuan yang melibatkan kaum muda untuk belajar tentang pentingnya hutan mangrove dan bagaimana diversifikasi mata pencaharian – seperti akuakultur dan peternakan lebah – dapat membantu meningkatkan pendapatan mereka tanpa merusak hutan.

Mengingat pencapaian besar yang telah dicapai oleh tim di Ambanja, saya jadi memiliki harapan yang lebih besar untuk masa depan Sembilang dan masyarakat yang tinggal di sana. 

Bergerak maju bersama Forum Sembilang

Kolaborasi adalah kunci untuk secara bertahap mewujudkan mimpi-mimpi ini menjadi kenyataan bagi masyarakat di Sembilang. Oleh karena itu, pada tahun 2019, Forum Sembilang dibentuk sebagai ruang bagi perwakilan dari Taman Nasional Sembilang, LSM, Universitas Sriwijaya, Pemerintah Kabupaten Banyuasin, dan organisasi berbasis masyarakat lainnya, untuk bersama-sama mengembangkan program konservasi mangrove bersama masyarakat Sembilang.

Forum Sembilang bekerja di tiga bidang utama. Pertama adalah pemberdayaan masyarakat, yaitu dengan memfasilitasi pembelajaran masyarakat tentang pemulihan ekosistem dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau. Kedua, inovasi dan penelitian dengan meningkatkan upaya penelitian di taman nasional dan memperkuat kapasitas organisasi masyarakat. Terakhir adalah tata kelola lingkungan dan konservasi dengan memperkuat upaya untuk mempromosikan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Namun, sejak masa pandemi COVID-19, anggota forum telah melakukan pertemuan secara online. Pada bulan Mei 2020, pertemuan reguler kami, ‘Forum Silaturahmi Sembilang’, pun digelar secara virtual.

Dalam pertemuan tersebut, anggota forum belajar tentang bagaimana Yayasan Hutan Biru dan WRI-Indonesia melakukan rehabilitasi hutan mangrove menggunakan Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (ROAM) untuk mengidentifikasi dan menganalisis dengan cepat area-area prioritas untuk restorasi hutan dan bentang alam.

Kami punya harapan besar pada Forum Sembilang,” ungkap Pak Afan Absori, Ketua Forum Sembilang, ketika menyampaikan apresiasi dan kegembiraannya saat bertemu kembali dengan sesama anggota. “Sungguh luar biasa melihat komitmen dan hubungan Forum Sembilang tetap terjaga, terlepas dari semua tantangan yang kita hadapi. Saya berharap, kami dapat terus belajar dan berkolaborasi satu sama lain.”

Perjalanan Yayasan Hutan Biru dan Forum Sembilang masih panjang, dan pastinya akan jauh lebih berat dibandingkan perjalanan saya untuk sampai ke Desa Sei Sembilang. Tetapi, kami percaya bahwa setiap langkah menuju pelestarian hutan mangrove – sabuk hijau yang mendukung perikanan dan menopang mata pencaharian masyarakat yang rentan – akan menjadi perjalanan yang sangat berharga.


  1. Bioclime Project, 2016
  2. Indica, M et al, 2010

Posted by Martha Silalahi

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *