This post is also available in: English

Di jantung Segitiga Karang, tepatnya di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, masyarakat nelayan penangkap gurita Desa Bulutui, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, telah mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Nelayan Bulutui yang dulunya dikenal sebagai pengguna alat tangkap yang merusak, kini untuk pertama kalinya menerapkan larangan penangkapan gurita untuk sementara. Hal ini diatur dalam Peraturan Kepala Desa tentang pengelolaan perikanan yang diinisiasi oleh masyarakatnya.

The new closure area, marked in purple | Foto: YAPEKA

Aswadi Sahari, Kepala Desa Bulutui, yang juga merupakan pengepul gurita, memahami pentingnya mengelola pemanfaatan sumber daya perikanan di desanya. “Pada Januari 2020, masyarakat Desa Bulutui sepakat untuk menutup Napo Ila, salah satu lokasi penangkapan gurita bagi nelayan tradisional Desa Bulutui,” ujar Aswadi. Napo artinya bagian dari laut yang tidak tidak terendam air saat surut. “Lokasi itu biasa disebut ‘Rumah Boboca’, artinya ‘rumah gurita’. Di lokasi tersebut, kami hanya bisa menangkap gurita selama tujuh hari setiap tiga bulan,” jelas Aswadi.

Siklus hidup gurita karang terbilang pendek (sekitar 15-18 bulan), tetapi memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat. Hewan ini mampu tumbuh dua kali lipat setiap bulan selama enam bulan pertama kehidupan mereka. Berkurangnya tekanan penangkapan memungkinkan gurita bertumbuh besar. Sehingga, ketika lokasi tersebut dibuka kembali, nelayan dapat memanen gurita yang ukurannya lebih besar sehingga harga jualnya pun lebih tinggi. Metode manajemen ini berhasil di Samudra Hindia Barat, termasuk di Andavadoaka di Madagaskar, Taman Nasional Quirimbas di Mozambik, dan Taman Nasional Moheli di Komoro.

Nelayan Bulutui mengadopsi mekanisme pengelolaan ini dengan harapan melihat hasil yang sama dalam tangkapan mereka. Masyarakat Bulutui mengandalkan hidup pada kelimpahan tangkapan gurita, sehingga mereka terdorong untuk menginisiasi upaya pengelolaan perikanan yang bisa menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan stabil. 

Keterlibatan masyarakat

Desa Bulutui adalah pemukiman masyarakat tradisional Suku Bajo yang dulunya penjelajah lautan di Kawasan Segitiga Karang. Desa yang penduduknya mencapai 700 jiwa ini sangat bergantung pada lautan, baik untuk kehidupan dan sumber pendapatannya. Menangkap gurita merupakan sumber pendapatan bagi hampir seluruh laki-laki di desa tersebut. Praktik ini pun telah berlangsung lebih dari 60 tahun. Namun, beberapa tahun belakangan, nelayan merasakan perubahan pada hasil tangkapan mereka.

Dulu, seorang nelayan bisa menangkap lebih dari 20 gurita sekali melaut dengan berat rata-rata lebih dari dua kilogram, bahkan beberapa ada yang beratnya mencapai lima kilogram. Sekarang, ukuran gurita yang tertangkap lebih kecil dan sulit sekali mendapatkan hasil tangkapan sebanyak dulu,” jelas Aswadi Sahari.

Menurunnya hasil tangkapan gurita ini menjadi masalah bagi nelayan Bulutui, terlebih karena tingginya permintaan gurita. Lantaran ini, praktik penangkapan gurita dengan cara yang merusak, tidak diatur, dan tidak berkelanjutan menjadi umum dilakukan nelayan. Akibatnya, stok perikanan di kawasan perairan Desa Bulutui menjadi terancam. Masyarakat Bulutui menyadari bahwa menurunnya sumber daya perikanan akan mengancam penghidupan mereka, oleh karena itu, perubahan harus dilakukan.

Nelayan Bulutui mulai membahas pengelolaan sumber daya perikanannya dan mencari cara untuk memberikan waktu dan ruang bagi gurita agar dapat tumbuh dan berkembang biak tanpa gangguan manusia. “Kami ingin mulai mengelola perikanan gurita dengan penutupan kawasan secara berkala agar kami bisa terus melihat gurita di sini hingga di masa depan,” ujar Aswadi kepada YAPEKA, lembaga non-profit di bidang konservasi laut yang bekerja bersama masyarakat nelayan Bulutui sejak 2016.

Setelah empat tahun membangun kemitraan dan kepercayaan dari masyarakat Desa Bulutui, YAPEKA melihat tumbuhnya kesadaran positif dari para nelayan gurita. Dengan mendorong praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan sesuai dengan adat dan budaya setempat, YAPEKA berhasil meningkatkan keterlibatan masyarakat di Bulutui dalam upaya menjaga kesehatan laut mereka.

Sejak tahun 2018, nelayan Bulutui mulai mendata hasil tangkapan gurita mereka. YAPEKA mendampingi mereka untuk menentukan sebuah sistem pemantauan hasil tangkapan dan melatih pembeli gurita di desa tersebut sebagai pengumpul data – mencatat jumlah tangkapan, lokasi penangkapan, peralatan yang digunakan, serta penelusuran data perikanan lainnya dari waktu ke waktu.

Data ini yang kemudian menjadi perangkat pendukung bagi masyarakat agar lebih terinformasi dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan gurita, hingga pemberlakuan aturan pertama untuk penutupan sementara kawasan penangkapan gurita di Napo Ila.

Pengawasan oleh masyarakat

Installing buoy markers around Napo Ila | Foto: YAPEKA

Penutupan sementara kawasan penangkapan gurita hanya akan efektif bila masyarakat nelayan setempat dapat terlibat dalam upaya pengawasannya. Di Bulutui, masyarakat sudah memahami pentingnya menjaga Napo Ila yang luasnya mencapai 22,9 hektar. Pada akhir Februari, nelayan gurita, pengepul, dan anggota pemerintah Desa Bulutui memasang tanda batas (buoy) di sekeliling Napo Ila. Hal ini untuk mencegah nelayan andon dari luar desa agar tidak menangkap ikan di kawasan tersebut.

“Para nelayan sudah sepakat untuk mengawasi kawasan tersebut bersama-sama,” kata Aswadi. “Apabila kami lihat ada yang melanggar, tindakan pertama yang dilakukan adalah memperingati orang yang kedapatan sedang menangkap gurita di kawasan tersebut. Kalau orang tersebut mengulang kembali pelanggarannya, ia akan diminta untuk melapor ke kepala desa dan menandatangani surat pernyataan untuk tidak melakukan tindakan tersebut kembali,” jelasnya.

Kami harap semua nelayan mau mematuhi aturan ini karena mereka masih bisa menangkap di lokasi lain selama Napo Ila ditutup,” ujar Aswadi. 

Edukasi masyarakat

Setelah diberlakukannya aturan untuk penutupan sementara kawasan tersebut, masyarakat Bulutui melanjutkan pembelajaran tentang perikanan gurita. Selama Januari 2020, Perkumpulan YAPEKA telah mengadakan serangkaian kegiatan untuk melibatkan perempuan, nelayan, dan generasi muda Desa Bulutui. Dalam kegiatan tersebut, mereka belajar hal baru tentang aspek biologis gurita, dan membuka ruang diskusi tentang cara terbaik untuk terlibat dalam upaya konservasi tanpa merugikan mata pencaharian lokal mereka.

 

Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat, Desa Bulutui bisa lebih mandiri dalam mengelola sumber daya alam mereka. Mulai dari menerapkan peraturan untuk pengelolaan perikanan, menggalang keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengawasan, dan membuka ruang diskusi tentang upaya konservasi bersama masyarakat. Semua ini menunjukkan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Desa Bulutui. Agar mereka dapat terus mendapatkan manfaat dari sumber daya laut yang berharga, bergizi, dan penting – seperti yang telah mereka lakukan selama puluhan tahun.


Read more about Bulutui’s journey with YAPEKA in Lugas Hakim’s blog, Breaking stereotypes: the Bulutui community starts to monitor their octopus fishery.


 

Posted by Nisa Syahidah

As our National Communications Officer, Nisa has been telling the stories of our partners in Indonesia since 2019.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *