This post is also available in: English

oleh Ruth H. Leeney dan Lugas Hakim
Gayatri Reksodihardjo-Lilley

Gayatri Reksodihardjo-Lilley, pendiri LINI. Foto oleh Surya Risuana.

Pagi itu sinar matahari bersinar dengan cerah di Bone Baru ketika saya duduk di rumah tradisional suku bajo sambil menikmati alunan ombak serta kokok ayam jago. Rumah yang terletak diatas laut ini, pikir saya, akan menjadi tempat yang sesuai untuk mewawancarai Gayatri Reksodihardjo-Lilley, pendiri LINI (Yayasan Alam Indonesia Lestari), sebuah organisasi yang telah merubah perilaku dan cara hidup komunitas pesisir di Sulawesi Tengah. Didirikan pada Januari 2008 oleh sekelompok profesional yang berdedikasi, LINI merupakan salah satu lembaga nirlaba di Indonesia yang bekerja untuk konservasi laut berbasis masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan praktek perikanan berkelanjutan di Indonesia. Organisasi ini bekerja dengan komunitas di 3 wilayah – Bali Utara, kepulauan Banggai, dan Banda – fokus pekerjaan mereka adalah pengelolaan dan konservasi wilayah pesisir, termasuk pengelolaan gurita dan tuna secara berkelanjutan, restorasi terumbu karang, dan pengelolaan serta penangkapan ikan hias secara bertanggung jawab.

Sebagai perintis program konservasi laut dan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia, fokus kerja Gayatri seringkali mengalami beberapa perubahan selama beberapa tahun terakhir. Terpukau oleh akuarium laut pada saat remaja, Gayatri ingin menikmati terumbu karang dan ikan yang beraneka warna di habitat natural mereka, dia pun belajar menyelam di pesisir Makassar. Gayatri melanjutkan pendidikan Biologi Kelautan di Universitas Nasional, Jakarta, diikuti dengan ekspedisi menyelam di seluruh wilayah Indonesia. Kenapa bisa berubah? saya bertanya-tanya, bagaimana bisa seseorang yang sangat mencintai alam bawah laut justru menghabiskan banyak waktu di daratan dengan para nelayan? ”Selama bertahun-tahun, saya melakukan penelitian ilmiah, membuat laporan penelitian, dan memberikan beberapa rekomendasi, hanya itu saja” Gayatri menjelaskan. “Namun ketika saya mulai terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam, saya menyadari bahwa sumber daya alam, misalnya ikan di laut, memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat yang hidup disekitar. Jadi pada dasarnya, mengelola sumber daya alam adalah sama halnya dengan mengorganisir masyarakat! Dan hal ini memerlukan cara pandang yang sangat berbeda. Saya belajar bahwa sangat penting untuk menempatkan masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumber daya alam sebagai pemeran utama dalam pekerjaan yang kita lakukan.”

Terumbu karang di Banggai, Sulawesi Tengah. Blue Ventures/ Garth Cripps.

Terumbu karang di Banggai, Sulawesi Tengah. Blue Ventures / Garth Cripps.

Sebuah Komitmen Untuk Masyarakat

Saat ini kita bisa melihat dengan jelas dedikasi Gayatri dalam bekerja dengan komunitas pesisir, akan tetapi ini bukanlah proses yang cepat dan mudah. Dibutuhkan komitmen yang besar, waktu dan energi yang tidak sedikit untuk mendorong masyarakat agar meninggalkan praktek memancing yang tidak ramah lingkungan, serta eksploitasi sumber daya alam besar-besaran; mendorong masyarakat untuk melakukan praktek memancing yang bertanggung jawab, memiliki mata pencaharian sampingan (seperti pariwisata dan akuakultur), dan aktivitas-aktivitas lainnya yang dapat mendukung pulihnya laut dari kerusakan. Semua hal ini akan menguntungkan masyarakat dan lingkungan, namun hasilnya tidak dapat langsung dirasakan pada saat ini, melainkan nanti di masa depan. Salah satu pengalaman yang tidak dapat dilupakan oleh Gayatri adalah ketika dia melihat perubahan dalam sikap dan perilaku nelayan Bajo di desa Popisi, Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah kearah yang lebih baik.

Suku bajo adalah masyarakat pengembara laut yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada laut, terutama sebagai sumber mata pencaharian mereka. Suku ini terkenal dalam penggunaan teknik memancing yang tidak ramah lingkungan, termasuk penggunaan bom (memanfaatkan bom untuk membunuh ikan) dan racun sianida. Beberapa organisasi memiliki keraguan untuk bekerja bersama suku Bajo, karena mereka percaya bahwa akan sangat sulit untuk menghilangkan kebiasaan memancing mereka dan merubah perilaku dari kelompok nelayan Bajo. Akan tetapi Gayatri percaya bahwa dengan kesabaran dan pendekatan yang benar, masyarakat Bajo dapat didorong untuk melakukan praktek menangkap ikan secara lebih baik dan berkelanjutan. Gayatri mengunjungi komunitas Bajo untuk pertama kalinya pada tahun 2016 dengan tujuan untuk melakukan pendekatan pada masyarakat, Gayatri paham, bahwa tanpa hubungan yang baik dengan masyarakat Bajo, tujuan mulianya tidak akan bisa tercapai. Jarang sekali orang terdapat orang luar yang mengunjungi suku Bajo, namun karena Gayatri sangat menghargai nilai-nilai hidup suku Bajo dan juga mempelajari cara hidup mereka, maka Gayatri telah memiliki pondasi yang kuat, yang kemudian menjadi cikal bakal kerjasama antara LINI dan masyarakat Bajo.

Kampung Bajo di kepulauan Banggai. Blue Ventures/ Garth Cripps

Kampung Bajo di kepulauan Banggai. Blue Ventures / Garth Cripps

Gayatri bersama dengan tim kemudian mengorganisir nelayan gurita dengan cara membuat sebuah kelompok nelayan gurita, hal ini memudahkan tim LINI jika mereka ingin melakukan rapat koordinasi dengan seluruh nelayan gurita, tanpa harus menghubungi nelayan satu persatu. LINI juga menyediakan pelatihan mengenai pengelolaan perikanan, temasuk pengumpulan data hasil tangkapan, pengawasan wilayah laut, dan penutupan sementara di wilayah tangkapan gurita (penutupan sementara ini berfungsi agar gurita tumbuh semakin besar dan bernilai lebih tinggi). Semua ini merupakan buah dari hubungan kemanusiaan yang dijalin dengan komunitas Bajo – dua tahun setelah LINI memulai bekerja dengan suku Bajo, nelayan Bajo memiliki pemahaman yang sangat bagus mengenai pengelolaan sumber daya alam, dan pada saat ini mereka sedang bekerja untuk pengelolaan perikanan gurita secara berkelanjutan di wilayah mereka. Perubahan yang terjadi pada komunitas Bajo membuktikan bahwa jika masyarakat diberikan kesempatan dan keterampilan, mereka akan mampu untuk mengelola sumber daya mereka sendiri dengan baik. LINI juga telah memfasilitasi sebuah pertemuan, dimana nelayan gurita dari suku Bajo dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan masyarakat luas, termasuk dengan aparat pemerintah lokal. Komunitas yang dulunya pernah dimarjinalkan, sekarang telah menyuarakan ide-idenya, dan bahkan menjadi contoh yang patut diikuti oleh masyarakat dari kampung lain!

“Saat kami bekerja dengan pemerintah misalnya untuk kebijakan perikanan, hasilnya akan sangat nyata, yakni adanya perubahan kebijakan. Sebaliknya, ketika kami bekerja dengan masyarakat, hasil yang kami harapkan, contohnya perubahan sikap dan perilaku dalam pemanfaatan sumber daya laut, sangat susah untuk diukur. Ini merupakan tantangan, namun juga sebuah kepuasan tersendiri jika kami berhasil merubah sikap dan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. Saya merasakan hal yang luar biasa setiap kali kami telah membantu seseorang untuk menolong dirinya sendiri!”

Hubungan yang erat dengan masyarakat serta menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama, merupakan kekuatan dalam pendekatan konservasi laut yang dilaksanakan oleh Gayatri. “Lebih dari 60% masyarakat Indonesia hidup di wilayah pesisir dan bergantung pada lingkungan laut sebagai sumber mata pencaharian. Jadi, jika ingin bekerja untuk konservasi laut di Indonesia, kita harus bersedia untuk bekerja dengan masyarakat!” Pesan ini, ungkap Gayatri, merupakan sebuah pesan yang selalu dia sampaikan untuk siapapun yang menjadi bagian dari LINI melalui program magang.

Generasi Penerus Pemerhati Laut

Dampak positif dari kinerja Gayatri untuk masyarakat pesisir sangat nyata: mata pencaharian baru telah tercipta; para nelayan telah meninggalkan praktek menangkap ikan yang tidak bertanggung jawab, pelatihan dan pendampingan pengelola perikanan secara berkelanjutan telah diselenggarakan oleh LINI. Dampak positif dari pekerjaan Gayatri dan tim nya bukan hanya dapat dirasakan pada saat ini, tetapi juga berguna untuk masa depan. Melalui program magang di LINI, orang muda didorong secara aktif untuk terlibat dalam pengelolaan perikanan. Program ini berperan sebagai batu pijakan setelah menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah dan sebelum beranjak ke dunia kerja, sebuah kesempatan untuk orang muda Indonesia dalam memperkaya pengalaman dan keterampilan, Gayatri sangat mendukung remaja perempuan untuk bergabung dalam program ini.

“Banyak perempuan pelajar yang bergabung dalam program magang kami, mereka belajar banyak mengenai perikanan, pengelolaan sumber daya laut, serta cara bekerja dengan masyarakat. Oleh sebab itu kami mendorong agar perempuan semakin aktif berperan dalam konservasi dan pengelolaan laut di masa depan”

Retno Ningrum menjalani program magang di LINI pada tahun 2018 selama tiga bulan setelah lulus dari pendidikan Ilmu kelautan, Universitas Padjajaran. Program magang ini memberi saya pengalaman berharga yang tidak saya dapatkan di ruang kelas, jelas Retno, pelajaran mengenai konservasi laut, lingkungan pesisir, serta mengenai kehidupan masyarakat yang bergantung pada lingkungan tersebut. Retno mendapatkan keterampilan teknis yang tidak pernah diberikan di perguruan tinggi: pengalaman menulis di website LINI, berkontribusi dalam pembuatan buku pedoman mengenai budidaya ikan badut (clownfish), membuat terumbu karang buatan, serta melalui interaksi dengan para pengunjung pusat akuakultur LINI, kemampuan komunikasi Retno kini menjadi semakin baik. Retno merasa bahwa dirinya sekarang menjadi semakin percaya diri dalam mengungkapkan pendapat, terutama dalam mendorong perempuan-perempuan Indonesia untuk berpikir lebih kritis dan berperan aktif dalam konservasi laut

“Bagi perempuan yang mencintai lingkungan dan ingin terlibat dalam konservasi laut, saya berpesan: jangan takut untuk bekerja di bidang ini. Tantangan pasti ada, misalnya keluarga yang kurang mendukung, bekerja di daerah terpencil, dan ketidakpastian dalam pekerjaan. Akan tetapi semua tantangan tersebut pasti bisa diatasi, asalkan kita berani.”
Retno K. Ningrum, sebelumnya adalah staff magang LINI dan saat ini merupakan asisten konservasi spesies, WWF Indonesia

Gayatri lebih dari sekedar mentor untuk Retno. “dengan gayatri, saya bebas bertanya mengenai apapun”, kata Retno. “dia membuat saya merasa seperti bagian dari keluarganya”. Perempuan muda Indonesia yang ingin berkecimpung dalam dunia konservasi laut harus menjadi lebih kritis dalam mempertanyakan kembali nilai-nilai yang berlaku di masyarakat pada saat ini, terutama yang membatasi perempuan, misalnya bahwa perempuan tidak bisa merantau, atau bahwa perempuan sebaiknya menikah di usia muda. Bagi perempuan-perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai tersebut, akan sangat berguna jika mereka memiliki seseorang yang selalu memberikan dukungan dan dapat menjadi panutan, terutama jika mereka ingin terus maju dan menjadi pemimpin di masa depan. Gayatri sangat bangga akan dampak dari program magang untuk peneliti-peneliti muda. Kontribusi Gayatri bukan hanya terlihat secara langsung dari kerja-kerjanya dengan masyarakat, tapi juga dari bagaimana dia menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus pemerhati laut.

Retno Ningrum, mantan staf magang LINI. Foto oleh Retno K. Ningrum.

Retno Ningrum, mantan staf magang LINI. Foto oleh Retno K. Ningrum.

Menuntut Ilmu dan Menuai Hasil

Jika kita melihat beberapa tahun kebelakang, hampir seluruh perempuan-perempuan di desa Les, Bali Utara, tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dan mencari nafkah – Gayatri melihat hal ini sebagai tantangan yang harus diselesaikan. LINI telah bekerja dengan para nelayan di Les sejak tahun 2003, dan memiliki reputasi yang baik di mata masyarakat, oleh karena itu ketika Gayatri memiliki usul untuk mendirikan pusat akuakultur dan konservasi laut di desa Les, masyarakat menerima ide tersebut dengan senang hati. Pusat akuakultur dan konservasi laut telah berdiri sejak tahun 2005, dan lebih dari 20 perempuan telah menjalani program belajar dan telah menuai hasilnya, mereka mendapatkan pelatihan budidaya ikan (LINI membudidayakan ikan capungan Banggai (Banggai cardinal fish) dan ikan badut (clownfish) sebagai ikan hias akuarium), keterampilan dalam mendampingi pengunjung, serta pelatihan pelayanan dan keramah-tamahan dalam menerima pengunjung pusat akuakultur dan konservasi laut, selain itu para perempuan ini juga mendapatkan penghasilan dari keterlibatan mereka. Gayatri memiliki visi yang jelas: yakni mendirikan pusat akuakultur dan konservasi laut untuk memberdayakan perempuan-perempuan Bali. Cita-cita Gayatri telah tercapai; sebagian besar dari perempuan-perempuan ini memang tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan sekolah menengah, namun mereka terbukti memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang akuakultur, saat ini terdapat 11 perempuan dampingan yang bekerja untuk pusat akuakultur dan konservasi laut. Gayatri juga menyadari bahwa pemberdayaan perempuan yang dia laksanakan ini akan memiliki dampak jauh kedepan. “Perempuan memiliki peran yang penting di masyarakat. Saya yakin bahwa dengan mendidik dan menghargai perempuan, kita bisa meningkatkan pemahaman dan keterlibatan mereka dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Pada akhirnya, mereka akan mewariskan ilmu dan keterlibatan mereka kepada anak-anak mereka, serta kepada orang-orang disekitar mereka”

Kemurahan dan Kerendahan Hati

Komitmen Gayatri dalam bekerja dan menjadi pendengar yang baik untuk masyarakat sangatlah menginspirasi. Gayatri memahami bahwa sebanyak apapun pengalaman yang dia miliki, dia masih terus perlu belajar, seperti layaknya kita semua. Kerendahan hati – kesediaan Gayatri untuk belajar dari orang lain sepanjang perjalanan karirnya, termasuk dari staf magang, rekan kerja, dan juga dari masyarakat, menjadikan Gayatri sebagai seseorang yang luar biasa. Kemurahan dan kerendahan hati memang sangat terasa menjadi prinsip dasar Gayatri. Dengan menggunakan prinsip dasar ini, Gayatri juga telah meningkatkan kapasitas generasi penerus peneliti dan pemerhati lingkungan Indonesia, menginspirasi perempuan-perempuan muda Indonesia untuk turut aktif dalam upaya pemberdayaan perempuan di wilayah-wilayah tertinggal. Perempuan yang sangat rendah hati dan energik ini merupakan panutan bagi perempuan lain yang berkecimpung dalam pengelolaan dan konservasi laut, bukan hanya di Indonesia melainkan di belahan dunia yang lain.

Artwork by Indah Rufiati

Posted by Ruth Leeney

Ruth is the Communications Coordinator - Outreach for Blue Ventures, and works alongside partner organisations and communities to communicate the activities and results of collaborative fisheries management and conservation efforts. She has a PhD in marine biology and over fifteen years of research experience.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *