This post is also available in: English

Ini merupakan blog ketiga dalam seri perempuan dalam perikanan.

Saat itu saya berdiri didekat meja kerja Forkani, terdapat sedikit celah pada atap diatas kepala saya, dan seekor laba-laba kuning dengan bintik hitam disekujur badannya jatuh ke lengan saya. Langit diluar terlihat gelap di pagi hari; hujan sangat lebat diluar, udara dingin dan suara riuh hujan bergemuruh diseluruh desa. Namun, cuaca mendung diluar tidak mempengaruhi suasana di kantor Forkani. Dari sekian banyaknya suara yang terdengar, saya mendengar suara tawa dari Mursiati, atau yang dikenal semua orang sebagai Nusi.

Nusi pertama kali bergabung dengan Forkani pada tahun 2007, ketika dia diundang untuk mengikuti pelatihan menulis. Nusi memang sangat gemar menulis, dia telah menghasilkan beberapa artikel untuk buletin di kampus tempat dia berkuliah dulu, oleh sebab itu dia sangat bersemangat ketika diundang untuk mengikuti pelatihan menulis oleh FORKANI. Setelah mengikuti pelatihan, dia semakin aktif menulis untuk 4 organisasi masyarakat di Wakatobi, yakni FORKANI, FONEB, Komanangi, dan Komunto – hal ini dilakukan oleh keempat organisasi tersebut untuk berbagi informasi dengan masyarakat Wakatobi tentang program dan pesan terkait lingkungan.

Semakin berjalannya waktu, peran Nusi di FORKANI semakin bertambah “sekarang, hamper semuanya saya kerjakan!” Nusi berkata sambil tertawa. Nusi terlibat dalam banyak program yang dijalankan oleh FORKANI, termasuk program pengelolaan perikanan di Darawa. Nusi telah mengkoordinir program ini sejak awal, dimulai dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gurita – menjelaskan tentang siklus hidup gurita yang pendek, Nusi juga menjelaskan bahwa dengan berhenti menangkap gurita selama beberapa bulan, maka ukuran gurita akan menjadi semakin besar dan tentu saja memiliki harga yang semakin tinggi. Selain itu, Nusi juga melatih perempuan di desa untuk mengumpulkan data mengenai jumlah gurita yang ditangkap, dan juga untuk mengkomunikasikan data yang mereka ambil tersebut kepada masyarakat sekitar, sehingga masyarakat menjadi lebih paham akan kondisi perikanan mereka saat ini.

Komunikasi adalah kunci

Anggota FORKANI menerima data hasil tangkapan gurita secara rutin dari masyarakat lokal yang bertugas untuk mengumpulkan data, mereka juga memiliki cara yang sangat kreatif untuk menyampaikan data yang telah diolah kepada masyarakarat. Anggota Forkani ingin agar masyarakat memahami data yang mereka kumpulkan sendiri. Dengan menggunakan data yang ada, para nelayan dapat melihat perubahan yang terjadi pada jumlah dan ukuran gurita seiring berjalannya waktu, akan tetapi mereka juga menyadari bahwa cara penyampaian data sangat penting agar masyarakat dapat benar-benar memahami arti dari data.

Nusi merupakan sosok yang sangat ceria dengan energi yang tidak pernah habis, dia juga suka bercanda, meskipun banyak kegiatan FORKANI yang dia jalankan, sangat jelas bahwa komunikasi adalah kekuatannya. Nusi telah banyak menghasilkan cara-cara kreatif untuk mengkomunikasikan informasi tentang perkembangan tangkapan gurita, dengan menggunakan format yang mudah dicerna dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Nusi pula yang pertama kali menyadari bahwa usaha awal FORKANI untuk mengkomunikasikan hasil analisis data untuk masyarakat menggunakan diagram batang, kurang suskes. Masyarakat kurang mengenal apa itu diagram batang dan juga bagaimana cara mengartikan diagram-diagram tersebut, selain itu penggunaan diagram atau grafik tidak dapat dipahami sebab masyarakat tidak dapat melihat hubungan antara data tersebut dengan ativitas keseharian mereka.

“Ini adalah data masyarakat. Gurita masyarakat”

Sejak saat itu, FORKANI mencoba untuk menyampaikan hasil analisis data tangkapan gurita dengan menggunakan format yang lebih mudah dipahami oleh para nelayan, beberapa format visual telah digunakan, antara lain dengan menggunakan tiruan gurita yang terbuat dari styrofoam yang berwarna cerah, dan juga dengan menggambar pemandangan bawah laut di kertas dengan ukuran besar. Setiap kali Nusi menyampaikan data, dia selalu berkata bahwa data ini adalah data masyarakat yang akan masyarakat gunakan untuk membuat keputusan terkait perikanan mereka sendiri. “Hal pertama yang saya sampaikan kepada masyarakat ketika saya menyampaikan data yakni, ‘ini adalah data masyarakat, ini adalah gurita masyarakat’ – sehingga akan timbul rasa memiliki dari informasi yang telah mereka kumpulkan sendiri. Saya kira ini sangat penting, sebab masyarakat telah banyak meliat kegiatan penelitian sebelumnya, namun mereka tidak pernah melihat hasil dari penelitian-penelitian tersebut”.

Nusi juga menempatkan upaya pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat Darawa ke lingkup yang lebih luas, antara lain dengan berbagi tentang aktivitas dan pengalaman yang dilakukan oleh komunitas lain, seperti masyarakat di Madagaskar, yang juga mengelola perikanan dan lingkungan pesisir mereka. Dalam film pendek  ‘Pembukaan’, Nusi menjelaskan tentang kerja-kerja FORKANI yang dilakukan dengan masyarakat di Darawa, dan juga bagaimana pentingnya cara peyampaian hasil analisis data dengan cara yang kreatif dan penuh semangat.

Membangun rasa percaya diri di masyarakat dan budaya

Photo: Claudia Matzdorf

Bagi Nusi, bagian terbaik dari pekerjaan di Darawa adalah melihat masyarakat berdiskusi mengenai sumber daya alam yang terdapat disekitar mereka. “Saya telah melihat pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya disini, diantara masyarakat yang sebelumnya merasa bahwa mereka tidak punya hak untuk mengelola sumber daya mereka sendiri. Masyarakat sekarang lebih percaya diri dan berani mengambil inisiatif untuk kepentingan mereka sendiri, bahkan untuk berbicara dengan pemerintah lokal mengenai permasalahan yang muncul dalam upaya pengelolaan”, ujar Nusi.

Anggota FORKANI memiliki visi jangka Panjang untuk masyarakat yang bekerja dengan mereka. Mereka melihat upaya penutupan sementara wilayah tangkapan gurita bukan sebagai hasil akhir, melainkan titik awal dari upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. “Apa yang kita lakukan pada saat ini hanya permulaan dari usaha masyarakat dalam mengelola sumber daya alam mereka sendiri, dalam skala kecil. Kita berharap kedepannya masyarakat di Wakatobi dapat duduk dan berdiskusi, dimulai dengan topik gurita dan kemudian sumber daya alam lainnya.”

“Saya telah melihat pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya disini, diantara masyarakat yang sebelumnya merasa bahwa mereka tidak punya hak untuk mengelola sumber daya mereka sendiri. Masyarakat sekarang lebih percaya diri dan berani mengambil inisiatif untuk kepentingan mereka sendiri, bahkan untuk berbicara dengan pemerintah lokal mengenai permasalahan yang muncul dalam upaya pengelolaan”

Dalam setiap percakapan dengan anggota FORKANI, Nusi sangat pandai menyelipkan lelucon sehingga semua orang tertawa. “Yanti dan saya adalah tim yang kuat”, Nusi berkata dengan nada jahil. “Suara saya lantang, dan semua orang tahu saya berbicara dengan sangat cepat, tapi Yanti sangat kalem, dia berbicara dengan lemah lembut serta sangat terorganisir!”. Saya melihat bagaimana kedua orang tersebut beraksi ketika saya menemani mereka ke Darawa beberapa hari kemudian. Ketika kami berjalan di jalan setapak yang dipenuhi rumput laut kering, semua orang menyapa Yanti dan Nusi dengan hangat, seperti sapaan terhadap kawan lama. Nusi bercanda dengan beberapa orang tersebut, melambaikan tangan dan memanggil mereka keluar dari rumah, sementara itu Yanti pergi menemui perempuan yang mengumpulkan data gurita untuk berdiskusi mengenai kemajuan proses pengumpulan data. Melihat bagaimana keduanya bekerja dengan masyarakat membuat saya yakin bahwa FORKANI memang sangat dihormati oleh masyarakat, namun saya juga paham bahwa perjalanan Nusi atau Yanti sebagai anggota FORKANI tidaklah selalu mudah.

“Kami membutuhkan lebih banyak ide dan cara pandang baru – kami membutuhkan keterlibatan lebih banyak perempuan!”

Nusi merupakan perempuan kedua yang bergabung dengan FORKANI, dia bergabung disaat masyarakat menganggap pekerjaan ini kurang dapat diterima. Sampai saat ini, hanya sedikit perempuan yang aktif sebagai aktivis lingkungan di Wakatobi – Nusi memperkirakan jumlah mereka mungkin ada sepuluh. “Kami membutuhkan lebih banyak ide dan cara pandang baru – kami membutuhkan keterlibatan lebih banyak perempuan!”, ungkap Nusi. Saya bertanya kepada Nusi mengenai nasehatnya untuk perempuan-perempuan muda diluar sana yang ingin terlibat aktif dalam pengelolaan perikanan, dan mengikuti jalan yang tidak dianggap biasa oleh masyarakat, seperti apa yang dia lakukan. Nusi menjawab tanpa basa basi.

“Tuhan menciptakan kita semua sebagai manusia, Tuhan tidak pernah berkata bahwa perempuan tidak dapat melakukan sesuatu hanya karena dia perempuan. Perempuan dapat melakukan apapun yang mereka inginkan, sama halnya dengan laki-laki”.


Read more from our Women in Fisheries series:

From research to relationships: an interview with Gayatri Reksodihardjo-Lilley, founder of Yayasan LINI

Toudani – inspiring a connection with land, ocean and culture: an interview with Nurmayanti of FORKANI


 

Posted by Ruth Leeney

Ruth is the Communications Coordinator - Outreach for Blue Ventures, and works alongside partner organisations and communities to communicate the activities and results of collaborative fisheries management and conservation efforts. She has a PhD in marine biology and over fifteen years of research experience.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *