This post is also available in: English
Oleh Nisa Syahidah & Lugas Lukmanul Hakim
Artikel ini merupakan seri ke-5 Perempuan dalam Perikanan
Matahari baru terbenam ketika kami tiba di Desa Gangga Satu, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Malam terasa hangat dengan lagu Manado yang terdengar di kejauhan. Kami baru saja tiba desa ini, setelah menempuh satu jam perjalanan laut dari daratan utama.
Listrik sudah menyala, seperti biasa setiap pukul enam sore. Bob menyalakan lampu rumahnya, tempat saya dan tim YAPEKA menetap malam ini. Bob adalah Kepala Desa Gangga Satu. Ia seorang nelayan yang juga merupakan tokoh masyarakat Bulutui. “Bob ini tangan kanan kami,” tutur Ami Raini Putriraya. “Ia kenal semua penduduk desa,” lanjutnya.
“Kerja YAPEKA di sini diawali dengan survei sosial ekonomi dan pendekatan pada masyarakat – tidak akan mungkin tanpa bantuan Bob!” Ami menunjukkan apresiasinya pada pria ini, yang dibalas dengan senyum khasnya.
YAPEKA adalah lembaga non-profit yang berfokus pada konservasi alam dan pemberdayaan masyarakat. YAPEKA memiliki lingkup kerja yang luas, mulai dari penelitian sosial dan lingkungan, pengembangan teknologi rendah karbon, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat yang selaras dengan keberlanjutan alam. Meski berbasis di Bogor, Jawa Barat, YAPEKA memiliki lokasi kerja di Sulawesi Utara di bawah kepemimpinan Ami.
Ami memimpin program pengelolaan perikanan gurita berbasis masyarakat di Desa Bulutui dan Gangga Satu sejak tahun 2017. Tidak mudah mengenalkan upaya pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, namun Ami dengan timnya berhasil membangun hubungan baik dengan masyarakat nelayan di kedua desa tersebut.
“Nelayan di sini menangkap gurita sejak tahun 1960. Harga gurita di pasar internasional sangat mahal, jumlah permintaan juga banyak,” jelas Ami. “Namun, setelah puluhan tahun menangkap gurita, para nelayan menyadari bahwa jumlah tangkapan gurita kian menurun,” lanjutnya.
Untuk menghadapi penurunan jumlah tangkapan gurita ini, YAPEKA bekerja sama dengan masyarakat untuk mulai mengelola sumber daya perikanan mereka. “Ada 80 lebih nelayan gurita dan 8 pengepul di kedua desa ini. Kami mendorong mereka untuk bisa mendata sendiri jumlah tangkapan gurita, hingga kini mereka mulai mengelola wilayah tangkapan dengan pengaturan waktu tangkap gurita.”
Komitmen untuk ilmu pengetahuan dan masyarakat
Lahir di Semarang, Jawa Tengah, Ami menghabiskan masa kanak-kanaknya di Ibukota Jakarta. Ami mendalami Biologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sebelum kemudian melanjutkan pendidikan magister di Wageningen University and Research, Belanda, jurusan konservasi hutan dan lingkungan.
Di Belanda, Ami fokus pada biologi terrestrial dan meneliti owa Jawa (Hylobates moloch) dan cangak abu (Ardea cinerea). Meski setelahnya, ternyata Ami ditakdirkan untuk jatuh cinta kepada konservasi laut.
“Pekerjaan konservasi laut pertama saya adalah saat penelitian untuk tesis,” kata Ami. “Waktu itu, saya terlibat dalam program replikasi kawasan konservasi perairan di Desa Bahoi untuk desa-desa lainnya di Minahasa Utara. Program tersebut merupakan kolaborasi antara YAPEKA dengan Good Planet Foundation,” tambah Ami.
Setelah menamatkan pendidikannya di Belanda, Ami kembali ke Indonesia dan mulai bekerja dengan YAPEKA. Resmi berkecimpung di bidang konservasi laut, Ami banyak belajar mengenai ekologi laut dan sosial, hingga pemantauan ekosistem karang, lamun, dan mangrove.
Kini, dalam peran yang ia emban, Ami memastikan bahwa masyarakat di Minahasa Utara bisa memetik manfaat dari berbagai upaya konservasi yang dijalani bersama.
“Pemberdayaan masyarakat adalah inti dari program YAPEKA. Kami percaya, masyarakat nelayan mampu mengelola perikanan mereka secara mandiri dan berkelanjutan,” katanya.
Bukan cita-cita yang mudah, namun sesuatu yang perlu dicapai dengan jerih payah. Dulu, di Bulutui, saat pertama kalinya YAPEKA mengenalkan program pengelolaan perikanan gurita, masyarakat desa masih mempraktikkan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan.
Perlahan, dengan pendekatan yang tepat, nelayan mulai menyadari bahwa sumber daya laut sangatlah rentan dan perlu dilindungi. Melalui inisiatif konservasi yang berbasis masyarakat, mata pencaharian masyarakat pun dijaga agar tetap berkelanjutan untuk generasi masa depan.
Kegigihan adalah kunci
“Ada dua hal penting yang kami pelajari dalam perjalanan bersama masyarakat. Pertama, jangan pernah menyerah dalam bekerja dengan masyarakat, apapun tantangannya.” Sesaat, Ami membenarkan posisi duduknya. “Kedua, pendekatan masyarakat perlu disesuaikan dengan generasi sasaran, agar mereka tertarik dan mau terlibat dalam upaya konservasi,” ia menyimpulkan.
Melalui pertemuan-pertemuan terbuka dengan masyarakat, Ami belajar mendengar apa yang menjadi kebutuhan mereka. Hal ini yang membuat YAPEKA memahami bagaimana cara yang terbaik untuk membantu masyarakat. Ami percaya, komunikasi dua arah yang efektif sangat penting dalam kerja mereka.
Namun Ami lebih dari perannya berjejaring dengan masyarakat. “Bukan hanya tentang menulis laporan dan proposal, namun kami juga perlu menjalin kerja sama yang kuat antara pemerintah, akademisi, lembaga non-profit lain, dan semua pihak yang terkait,” tambah ia. “Itulah yang dinamakan semangat co-management, kita tak bekerja sendirian, tapi saling berkolaborasi.”
Peran perempuan dalam konservasi
Dalam tatanan tradisional Indonesia, masih ada stereotip yang membatasi peran perempuan di ranah publik. Namun demikian, Ami menjadi saksi bahwa kini, telah banyak sekali perempuan Indonesia yang menempati posisi-posisi strategis dalam lingkungan kerja. “Di Sulawesi Utara, suara perempuan sangat didengarkan. Senang sekali melihat sosok-sosok perempuan yang menjadi pimpinan di kantor provinsi, atau menjadi kepala desa,” kata Ami.
Saya pribadi melihat, perempuan itu cenderung punya visi lebih jauh ke depan. Mungkin karena perempuan terbiasa mengelola kebutuhan rumah tangga, seperti perencanaan finansial maupun pemenuhan gizi keluarga, jadi perempuan lebih peka dan sadar pada lingkungan sekitar. Makanya, peran perempuan penting dalam konservasi. Mereka bisa menawarkan perspektif berbeda yang bermanfaat dalam proses pengambilan kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam,” ungkap Ami.
Pada tahun 2016, YAPEKA bekerja bersama perempuan-perempuan Desa Bahoi untuk membentuk kelompok masyarakat ekowisata. Hasilnya, semakin banyak perempuan yang ikut serta dalam program homestay untuk mewujudkan mata pencaharian alternatif yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tentunya, dengan tetap mendorong mereka untuk melindungi potensi ekowisata seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang.
Apa yang mendorong Ami untuk terus maju?
“Dua tahun lalu, saya menghadiri pertemuan stakeholders di Sangihe, Sulawesi Utara. Kami memparkan kemajuan program pengelolaan dan konservasi wilayah pesisir dalam dua tahun terakhir. Setelah presentasi, salah satu kepala desa angkat tangan untuk menyampaikan pendapatnya. Dia hanya berkata ‘terima kasih’, kenang Ami. Sebuah perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata, bagi Ami. “Seperti mendapat penghargaan yang besar sekali,” kata Ami, matanya berkaca-kaca.
Malam melarut ketika kami berbincang. Saya selalu mengingat semangatnya untuk mewujudkan citanya di masa depan – cita-cita untuk kerja yang memberi dampak dan manfaat pada masyarakat pesisir.
Lebih lanjut mengenai seri Perempuan dalam Perikanan:
Meningkatkan rasa percaya diri melalui komunikasi: wawancara dengan Mursiati dari Forkani